Kita baru saja membuka pintu
gerbang tahun baru Islam tahun Hijrah tahun berdirinya Daulat Islamiyah di
Madinah tgl 12 Rabiulawal bertepatan
dengan 16 Juli 622 M = 1389 tahun
silam kalau hitangan tahun Hijrah = 1433 tahun silam. Kenyataan kita lihat
ketika jatuh tanggal 1 Muharram 1432 umat Islam tak terkesima tapi ketika jatuh
tahun baru 2011 M manusia begitu meriah menyambutnya dengan gegap gempita, ada
acara di TV ada di lapangan ada kelompok suku membuat acara tertentu untuk
menyambut tahun baru tersebut. Tahun baru Masehi sudah mendunia menjadi milik umat Manusia. Kaum Muslimin
juga merasa tahun baru Masehi itu adalah bagian dari kehidupan berbudaya malah
mereka melupakan tahun baru Islam padahal ia kaum Muslimin. Betapa jauhnya
sudah umat menelantarkan Agamanya, keyakinannya, menelantarkan Pedoman hidupnya
yaitu Al-Quran yang pesannya :
Katakanlah:
"Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi
Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila
Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud,
|
قُلْ
آمِنُوا بِهِ أَوْ لا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ
قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ سُجَّدًا
|
107
|
dan mereka berkata:
"Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti
dipenuhi".
|
وَيَقُولُونَ
سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا
|
108
|
Dan mereka menyungkur
atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.
|
وَيَخِرُّونَ
لِلأذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
|
109
|
Saya sering mendengar bahwa para Penceramah
mengatakan dalam rangka mengisi tahun baru Hijrah hendaklah kita berupaya :
Mengislamkan diri sendiri, mengislamkan keluarga,
mengislamkan masyarakat. Pekerjaan ini amatlah mudahnya kalau bertepatan anda
memang Muslim punya istri Muslimat sudah pasti anak-anaknya Muslim, apalagi
tinggal dalam masyarakat yang pada umumnya beragama Islam sudah selesailah
tugas. Tapi kalau kewajiban ini kita tingkatkan menjadi:”mensunnahkan
diri, mensunnahkan keluarga dan mensunnahkan msyarakat dan memasyarakatkan
sunnah barulah terasa beratnya tugas tersebut”.
Taroklah misalnya kita sudah mengaji Ajaran Sunnah
Nabi dan mengamalkan nya, tetapi istri ada yang mau ikut mengaji dan ikut
sunnah tapi ada yang bersikeras memegang tradisi leluhurnya: Alhamdulillah
isteri ikut mengaji dan sunnah bagaimana anak kalau sudah dewasa , berumah
tangga lalu pindah ikut mertua ?. Jawabnya ” Ya anak anak juga dibawa berjalan
diatas jalan sunnah Nabi ”, Ya itu kalau masih dalam tanggungan bagaimana kalau
anak kita diperistri dari keluarga khurafat, ahli bid’ah dan berbudaya musyrik,
berpikiran Liberal dan ajaran yang menyimpang lainnya, apakah anak anak itu
tetap bertahan di Sunnah ? Nabi Muhammad punya tiga orang menantu : Abdu’l ‘Ash bin
Rabi’, suami Zainab, Utbah Ibn Abal Hakam suami Ruqaiyah, ‘Utaiba Ibn Abal
Hakam suami Ummi Kaltsum; ketiga menantunya ini tak mau beriman dengan ajaran
Islam malah masih bertahan dengan kemusyrikannya mengikut tradisi leluhurnya.
Ketika Abu’l Ash bin Rabi’ tertangkap dalam pertempuran Zainab menebus mantan
suaminya takut kalau tak ada yang menebus akan dieksekusi mati dan Rasulullah
tidak mencegahnya itu bukan merupakan kesalahan dan kelemahan Nabi Muhammad
atau kelemahan putrinya Zainab . Beliau maklum bahwa dalam hati putrinya masih
tersimpan kenangan indah bersama suaminya. Itu keluarga Nabi Muhammad
apalagi kita yang punya iman hanya secuil
Dakwah ditingkat dua ini sudah terasa berat
apalagi kalau ditingkatkan menjadi : Men-DIN-kan diri, men-DIN-kan keluarga dan
men-DIN-kan masyarakat dan memasyaraktkan DIN, amatlah beratnya karena
pengertian DIN itu sangat dalam dan luas
Mari kita dengar apa kata Allah tentang DIN.
Pada
umumnya kata “DIEN” selalu diartikan dengan : AGAMA, padahal kata Dien itu
mengandung arti yang banyak. Diantaranya :
Kepercayaan, tata cara, pengabdian
(ibadah), aturan hidup, hukum yang memberi sangsi (paksaan), kemerdekaan atau
kemenangan, keputusan, ketentuan Allah, ajaran yang membentuk kesalehan dan
ketaatan, perhitungan baik dan buruk
atau untung dan rugi, balasan yang setimpal
1. Pengertianb
Dien
Di
dalam Al-Qur’an ada tujuh kata yang terkait dengan kata Ad-Dien itu : Allah,
Islam,Qaiyim, Haq, Khalish, Hanif dan Washib.
a.
Dianu’llah
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ
يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ
فِي السَّمَوَاتِ وَالاَرْضِ
طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ(3)
“Apakah mereka masih mencari Agama lain selain Dienu’llah
padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan bumi/
baik dengan suka atau terpaksa, dan kepada Allah juga mereka dikembalikan “(
Q.S.3 /Ali Imran : 83)
Dari ayat tersebut di atas dapat kita mengambil makna yang tersirat
bahwa pengertian Dien adalah :
suatu bentuk keyakinan dan kepercayaan masyarakat yang mengenal Allah,
Tuhan yang maha Esa.
b.
Dienul’l Islam
انَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الاِسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا
بَيْنَهُمْ...............(1)
“ Sesungguhnya Ad-Dien yang disisi Allah adalah Al-Islam,
dan tidaklah berselisih faham orang-orang yang telah diberi Al-Kitab itu,
melainkan setelah datang kepada mereka itu ilmu pengetahuan yang saling
mendengki diantara mereka……..! (Q.S.3 / Ali Imran : 19)
Dienu’l Islam = aturan hidup atau hukum yang mengatur kehidupan
masyarakat yang tunduk kepada Sunnatu’llah dan Sunnah Rasul
c.
Dienu’l Qayim
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ
حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ
لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ................(0)
“Hadapkanlah mukamu kepada Dien yang
Hanif (lurus) adalah fitrah Allah (ciptaan Allah), dimana manusia itu
diciptakan berdasarkan fithrah tersebut, tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah, itulah Dienul’l Qaiyim…..” (Q.S.Ar-Rum/30 : 30)
Dienu’l Qaiyim dalam ayat ini bermakna :
Suatu bentuk tatanan masyarakat yang merdeka dan berdaulat yang sudah
melepaskan diri dari belenggu dan ikatan apapun selain ikatan Allah.
d.
Dienu’l-Haq
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ
الاخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّم اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ
الْحَقِّ.................(2)
“Perangilah orang-orang yang tidak
percaya kepada Allah dan hari akhirat serta tidak mau mengharamkan apa yang
telah diharamkan Allah dan rasul-Nya dan
tidak berAgama dengan Agama yang benar ( Dienu’l Haq)………” (Q.S.9/At Taubah : 29
)
Ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Dienul
‘l Haq merupakan kumpulan keputusan-keputusan dan ketentuan Allah yang
dijadikan pola anutan manusia dimana keputusan itu terjamin kebenarannya karena
berdasar fakta dan data.
e.
Dienul Khalish
الا لله الدِّينُ
الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ
إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىِ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah
Dienu’l Khalish (Agama yang bersih) dan orang-orang yang mengambil pelindungnya
selain dari Allah berkata : Kami tidaklah mengabdikan diri kepada mereka
melainkan hanya mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya ……”
(Q.S.39/Az-Zumar : 3)
Pengertian Dienu’l Khalis dalam ayat
diatas adalah Agama yang suci murni. Iman yang bersih dari kesyirikan, Ibadah
yang bersih dari hal yang Bid’ah, pikiran bersih dari Khurafat, tingkah laku
yang bersih dari maksiat dan hati yang bersih dari kebencian, kedengkian dan
segala penyakit hati.
Dienu’l
Khalish = Agama yang mengajarkan budi pekerti kepada ummatnya sehingga
terbentuk masyarakat Islam yang hidup dalam keshalehan dan ketaatan kepada
Allah (berbudi pekerti mulia)
f. Dienu’l Hanif
وَمَا أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ(5)
“ Mereka tidaklah diperintah melainkan supaya
mengabdi kepada Allah dengan ikhlash baginya untuk berAgama, dengan jiwa yang
lurus, dengan menegakkan sholat , mengelurkan zakat : yang demikian itulah Agama yang teguh-tegar”
(Q.S.98/Al-Baiyinah : 5 ).
Kata
hanif dalam ayat diatas “ yang lurus” yaitu keperibadian yang lurus, jujur dan
adil.
Dienu’l Hanif = Agama yang sanggup
membentuk sikap pribadi penganutnya menjadi peribadi yang Amanah karena
hidupnya penuh kejujuran.
g. Dienu’l Washib
وَلَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ
وَالاَرْضِ وَلَهُ الدِّينُ وَاصِبًا أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَتَّقُونَ(2)
“Dan bagi Allah apa yang ada di
langit dan apa yang ada dibumi dan baginya juga Dienu’l Washib (Agama
yang tetap, berkesinambungan ), apakah ada selain Allah untukmu bertaqwa ?”
(Q.S. 16/An-Nahli : 52)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Dienu’l
Washib adalah ajaran Islam yang sudah di jiwai oleh penganutnya sehingga
tradisi orang Islam adalah syari’at Islam itu sendiri sehingga terbentuk suatu
peradaban yang merupakan buah dari Islam itu, dimana buah itu harus di wariskan
kepada generasi penerus dibelakang hari
Jadi dalam kata DIEN itu terkandung makna
:
a. Bentuk keyakinan dan
kepercayaan yang mengenal Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
b. Hukum yang mengatur
kehidupan manusia yang tunduk kepada Suuatu’llah dan Sunnah Rasul
c. Tatanan masyarakat yang
merdeka dan berdaulat dibawah kedaulatan Allah
d. Kumpulan keputusan dan
aturan Allah yang terjamin kebenarannya karena berdasar fakta dan data
e. Ajaran yang membentuk Budi
pekerti penganutnya menjadi shaleh dan taat
f.
Ajaran yang dapat membentuk sikap pribadi penganutnya menjadi manusia
amanah dan hidup penuh kejujuran.
g. Nilai-nilai luhur warisan
Allah yang harus diwariskan kepada generasi penerus.
Dari kesimpulan diatas dapatlah kita
difinisikan, bahwa DIEN adalah :
“Suatu tatanan masyarakat yang merdeka,
berdaulat dibawah kedaulatn Allah, yang ajaran-Nya mengenalkan tentang Tuhan
yang Maha Esa, dimana ummatnya memiliki keperibadian dan sikap mulia yang
tunduk pada hukum-hukum dan ketentuan Allah yang terjamin kebenarannya karena
memiliki data dan fakta, yang nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya
menjadi tradisi dan kebiasahan sehari-hari yang harus diwariskan dan tidak
membutuhkan tradisi lain warisan leluhur “
Jadi
men-DIN-kan diri : ”Berupaya
membersihkan diri dari aqidah dari segala kemusyrikan, beribadah menurut
Sunnah, hidup dalam kepatuhan pada syari’at, mendalami dan menghayati tap-tap
Allah, membentuk diri jadi orang yag bersikap berkeperibadian mulia, amanah
jujur, dan mewariskan nilai-nilai luhur itu kepada generasi penerus”
Bagaimana membumikan ajaran DIEN ini, cara
yang dicontohkan Nabi adalah dengan Hijrah
2. Hijrahnya
Umat
Kita umat Islam sekarang belum ada yang tertarik mengamalkan Hijrah
seperti Hijrahnya Nabi, hanya baru sekadar wacana, memperingati tahun baru
Islam lalu berbicara tentang Hijrah tapi enggan mengamalkan sunnah Nabi
untuk berhijrah. Belum ada terdengar
ada kelompok kaum Muslimin yang berhijrah mencari lahan baru
lalu membangun komunitas-Muslim disana untuk mengamalkan Sunnah Nabi dan
membangun Madinatu’l- Munawwarah dinegerinya sendiri, misalnya ada
Daarus-sunnah perkampungan Muhammadiyah, Perkampungan Keadilan, Perkampungan
Anshor dan lain lain padahal Allah sudah berpesan :
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُطْمَئِنَّةً
يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ
فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ(1)
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri
yang aman tenteram, rezkinya datang berlimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi
(penduduk) nya mengingkari ni`mat-ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan
kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka
perbuat” ( QS.16/ An- Nahl :112 )
Kutipan surat
An-Nahlu ayat 112 yang tertera diatas mengandung informasi bahwa Allah
menyodorkan kepada kita perumpamaan sebuah negeri makmur yang nikmat Allah
disana berlimpah-ruah datang dari semua penjuru, tapi umatnya “Kufur Ni’mat” ,
itulah negeri kita Indonesia yang tanahnya subur tapi penduduknya banyak yang
miskin sementara pendatang dari luar negeri mereka hidup mewah..
.
Pada masa Al-Qur’an diterima Nabi Muhammad, diberitakan dalam Al-Quran
bahwa ada negeri subur yang paling makmur di kawasan Yaman dimasa Kerajaan
Saba’ yang diperintah Ratu Balqis menguasainya.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ
يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ(1)
“Sesungguhnya
bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di
tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik
dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".( QS. 34/Saba’: 15 )
Negeri Saba’ ini
kemudian dikuasai Sulaiman karena Ratu
Balqis menjadi Permaisurinya, maka jadilah negeri itu menjadi negeri
makmur aman sentosa yang rakyat hidup dalam ridho Allah karena
pemimpin Negerinya mau berpedoman kepada ajaran Allah. Kalau negeri Indonesia
yang subur ini Pemimpinnya mau berpedoman kepada Ajaran Allah pastilah kemakmuran
merata keseluruh daerah dan tidak akan ada seorangpun lagi yang miskin. Kalau
Negara tidak mau berpedoman kepada Sunnah kenapa warga sunnah sendiri tidak mau
membangun perkampungan ( Daaru’s Sunnah )
untuk membumikan Al-Qur’an. Selagi masyarakat penghuni Daaru’s Sunnah
patuh kepada Program Pemerintah yang bersifat Negara-Nasional itu, masyarakat
Sunnah tentu aman tenteram hidup tidak
terganggu keamanannya karena UUD-45 menjamin rakyatnya dalam menjalankan
keyakinan dan kepercayaan menurut agamanya masing masing. Kalau perkampungan
sunnah terwujud dan Al-Qur’an dibumikan pasti masyarakat penghuni Daaru’s
Sunnah itu akan hidup tenteram ( ada jaminan Allah dan jaminan Negara) seperti
kehidupan umat Islam dimasa Rasulullah. Nasib umat tidak akan terpuruk, tidak
ada anggota masyarakat yang miskin lagi, karena para Aghniya’ ( orang kaya )
hanya boleh memiliki kekayaannya sendiri 97,5 % saja dan yang 2,5 %-nya adalah
milik faqir miskin. Orang orang yang kurang Iman akan melihat kehidupan
masyarakat yang tenteram damai tak ada pencurian tak ada penipuan tak ada
kekerasan, pastilah orang orang yang mendambakan hidup damai akan membeli lahan
diperumahan Daaru’s-sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar